Senin, 28 Desember 2015

Tugas Sotskill Etika Bisnis Pertemuan 3



Perilaku Bisnis Yang Melanggar Etika


Contoh Kasus : Hak Pekerja Perempuan Masih Terabaikan

        Koalisi yang terdiri dari serikat pekerja dan LSM menilai perlindungan hak pekerja perempuan masih minim. Pekerja perempuan masih kerap menerima tindakan kekerasan dan pelecahan yang dilakukan atasannya. Anggota Koalisi dari Kalyanamitra, Rena Herdiyani, hal itu menimpa tak hanya pekerja yang bekerja di Indonesia tapi juga di luar negeri (TKI). Ia memperkirakan ada 70 persen dari 80ribu pekerja perempuan mengalami pelecehan seksual.

        Menurut Rena, hal itu terjadi karena ketidakseimbangan relasi kekuasaan antara pengusaha dan pekerja. Walau adaSurat EdaranMenakertrans No 03 Tahun 2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual, namun pelaksanaannya dirasa belum memuaskan. "Belum ada perkembangannya sejauh mana terimplementasi," katanya dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Senin (29/4). Anggota Koalisiyang laindari Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Wa Ampi, mengatakan di kawasan industri di KBN Cakung Jakarta, mayoritas pekerja perempuan pengetahuannya atas hak masih minim. Akibatnya, para pekerja tak tahu kalau tindakan yang dilakukan atasannya tergolong pelecehan seksual atau diskriminasi terhadap perempuan.

       Kasus yang banyak terjadi yaitu pekerja perempuan dirayu atasannya untuk diajak berkencan dengan iming-iming diangkat menjadi pekerja tetap. Sebagai upaya memberi pemahaman atas hak pekerja perempuan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan peraturan lainnya, Ampi menyebut FBLP membentuk komite yang bertugas memberi pemahaman itu kepada pekerja perempuan. "Di KBN Cakung 90 persen pekerja terdiri dari perempuan," tuturnya. Selaras dengan itu Ampi mendesak pemerintah untuk menggalakkan sosialisasi kepada perusahaan-perusahaan tentang hak pekerja perempuan.Misalnya hak pekerja perempuan untuk mendapat angkutan khusus bila bekerja hingga larut malam karena lembur.

         Di sisi lain, Ampi berpendapat mestinya perusahaan yang bersangkutan menjamin keselamatan pekerjanya sampai ke rumah dengan cara menyediakan angkutan. Selain itu perlu juga diberikan pemahaman kepada pekerja bagaimana mencegah terjadinya tindak kekerasan, pelecehan seksual dan diskriminasi di tempat kerja. Senada, anggota koalisi dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Devi Fitriana, melihat masih banyak perusahaan yang belum memenuhi hak pekerja perempuan. Misalnya, menyediakan ruangan khusus menyusui di tempat kerja. Ada pula perusahaan yang memutus hubungan kerja (PHK) seorang pekerja perempuan yang mengidap HIV/AIDS.

       Selain itu Devi menilai pemerintah perlu membuat kebijakan yang mewajibkan perusahaan yang pekerjanya mayoritas perempuan untuk menyediakan klinik khusus. Misalnya, menyediakan tenaga medis khusus bidang kesehatan reproduksi perempuan dan bidan. Pasalnya, kesehatan reproduksi perempuan harus dijaga karena tergolong rentan. "Jadi pekerja perempuan bisa optimal dalam bekerja," ucapnya.

      Sedangkan anggota koalisi dari AJI Jakarta, Anastasia Lilin, menyoroti PHK sepihak yang menimpa pekerja perempuan di lima perusahaan media. Ia menyebut perusahaan media tak luput dari masalah ketenagakerjaan. Selain PHK sepihak, diskriminasi terhadap pekerja perempuan sering terjadi. Misalnya, pekerja perempuan sulit menduduki jabatan strategis di perusahaan media. Akibatnya, produk-produk media masih didominasi perspektif kaum lelaki.

       Soal penata laksana rumah tangga (PLRT), anggota koalisi dari Mitra Imadei, Inke Maris, mengatakan banyak anak-anak berusia 12-17 tahun bekerja di jenis pekerjaan itu. Ironisnya, pekerjaan yang dilakukan bukan hanya satu jenis, tapi banyak, mulai dari membereskan rumah, menjaga toko sampai mengurus anak majikan. Secara umum pekerjaan yang banyak itu kerap dilakukan oleh PLRT. Mengingat PLRT didominasi oleh perempuan, Inke mengatakan perlindungan pemerintah terhadap mereka sangat minim. Terutama PLRT yang masih berusia anak-anak. “Hak anak tidak mereka dapatkan seperti pendidikan dan bermain,” tukasnya.

     Tak ketinggalan, anggota koalisi dari Migrant Care, Bariyah, mengatakan Indonesia termasuk negara pengirim pekerja migran terbesar. Dari seluruh pekerja migran asal Indonesia sekitar 70 persennya berjenis kelamin perempuan. Oleh karenanya, ketika ada persoalan yang menimpa pekerja migran, secara langsung bersinggungan dengan nasib perempuan. Sampai akhir 2012 Migrant Care mencatat ada 420 pekerja migran terancam hukuman mati. Salah satunya pekerja migran asal Semarang, Jawa Tengah, Satinah. Begitu pula dengan nasib tragis seorang pekerja migran yang diperkosa beramai-ramai oleh polisi Malaysia.

        Mengacu berbagai persoalan pekerja migran itu Bariyah mengatakan pemerintah lamban dalam melakukan bantuan hukum. Misalnya, untuk kasus Satinah, Bariyah menyebut untuk menyelesaikannya pemerintah menyewa pengacara. Padahal, Bariyah memperkirakan hal itu tak cukup karena butuh diplomasi tingkat tinggi dengan kerajaan Arab Saudi untuk menuntaskan masalah tersebut. Hal lain yang disayangkan Bariyah, terjadinya iklan TKI di Malaysia yang intinya memberi potongan harga untuk pengguna jasa TKI.

    Melihat fakta tersebut Bariyah berkesimpulan pemerintah belum serius melakukan perlindungan untuk pekerja migran. Khususnya mengimplementasikan UU No.16 Tahun 2012 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya. Akibatnya, perspektif pengelolaan pekerja migran yang dilakukan pemerintah cenderung mengarahkan pekerja migran hanya sebatas komoditas. Untuk memperbaiki hal tersebut Bariyah mengatakan Migrant Care berkomitmen mengawal pembahasan RUU PPILN yang saat ini sedang digodok di DPR. “Agar catatan hitam (kasus-kasus,-red) pekerja migran bisa terus menurun,” urainya.

       Terpisah, Ketua bidang UKM, Wanita Pengusaha, Wanita Pekerja, Gender dan Sosial APINDO, Nina Tursinah, mengatakan sebagai organisasi pengusaha, APINDO membantu pemerintah melakukan sosialisasi tentang hak pekerja perempuan ke berbagai perusahaan. Untuk perusahaan berskala besar, Nina menyebut APINDO tak mendapat kesulitan dalam melakukan kegiatan sosialisasi tersebut.

     Tapi, jika dijumpai terdapat perusahaan besar yang belum memenuhi hak pekerja perempuan seperti menyediakan angkutan khusus bagi pekerja yang pulang larut malam dan ruang menyusui menurutnya itu bukan sebuah kesengajaan. Namun, secara umum Nina mengatakan perusahaan skala besar cenderung sudah memenuhi hak pekerja perempuan sebagaimana diamanatkan peraturan yang ada dengan cukup baik.

         Untuk industri di bidang Usaha Kecil Menengah (UKM), Nina mengatakan APINDO mengalami kesulitan melakukan sosialisasi. Pasalnya, sektor industri UKM sangat luas dan menyebar sampai ke daerah. Untuk memaksimalkan kegiatan itu Nina berharap pemerintah, khususnya Kemenakertrans membantu melakukan sosialisasi. Kendala lain yang kerap dijumpai dalam menyosialisasikan hak pekerja perempuan di industri UKM diantaranya berkaitan dengan terbatasnya ruangan untuk menyediakan tempat khusus untuk menyusui serta keterbatasan kemampuan untuk menyediakan transportasi.

        Walau sudah melakukan kewajibannya untuk melakukan sosialisasi, namun Nina mengakui kegiatan tersebut belum dilakukan APINDO secara maksimal. Atas dasar itu, Nina mengimbau kepada seluruh pemangku kepentingan agar berbarengan mengkampanyekan pentingnya pemenuhan hak pekerja perempuan. “Memang kami belum lakukan sosialisasi secara maksimal, itu tugas kita bersama,” pungkasnya.

Contoh Diskriminasi Pekerjaan Pada Wanita :

·         Diskriminasi pekerjaan terhadap wanita hamil
Ada indikasi, beberapa perusahaan banyak yang memasung hak-hak reproduksi perempuan seperti pemberian cuti melahirkan bagi karyawan perempuan dianggap pemborosan dan inefisiensi. Perempuan dianggap mengganggu produktivitas perusahaan sehingga ada perusahaan yang mensyaratkan calon karyawan perempuan diminta untuk menunda perkawinan dan kehamilan selama beberapa tahun apabila mereka diterima bekerja. Syarat ini pun menjadi dalih sebagai pengabdian perempuan kepada perusahaan layaknya anggota TNI yang baru masuk.

Meskipun undang-undang memberi wanita cuti melahirkan selama 3 bulan, yakni 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, wanita yang sedang hamil atau melahirkan masih sering dipecat atau diganti ketika sedang cuti. Hal ini terjadi pada perusahaan yang tidak begitu baik tingkat pendapatannya. Mereka rugi bila harus menanggung biaya atau memberikan gaji bagi yang cuti.

·         Diskriminasi pekerjaan karena stereotype gender
Tak dipungkiri, dalam masyarakat Indonesia dan beberapa Negara, wanita kebanyakan ditempatkan pada tugas-tugas administrasi dengan bayaran lebih rendah dan tidak ada prospek kenaikan jabatan. Masih ada stereotype yang ‘menjebak’ bahwa wanita identik dengan “penampilan menarik”, hal ini seringkali dicantumkan dalam kriteria persyaratan sebuah jabatan pada lowongan pekerjaan. Pegawai perempuan sering mengalami tindakan yang menjurus pada pelecehan seksual. Misalnya, ketika syarat yang ditetapkan perusahaan adalah harus memakai rok pendek dan cenderung menonjolkan kewanitaannya.

·         Diskriminasi terhadap wanita muslim
Kasus yang terbaru untuk kategori diskriminasi ini ini adalah terjadi di Inggris. Hanya karena mengenakan busana Muslim, banyak wanita Muslimah berkualitas di Inggris mengalami diskriminasi dalam pekerjaan mereka. Laporan EOC menunjukkan bahwa 90% kaum perempuan Muslim asal Pakistan dan Banglades mendapat gaji yang lebih rendah dan tingkat penganggurannya tinggi.
 
Kasus lain juga terjadi di Perancis, pada kwartal akhir tahun 2002. Seorang pekerja wanita dipecat perusahaan tempatnya bekerja lantaran menolak menanggalkan jilbab yang dikenakannya saat bekerja. Padahal dirinya telah bekerja di tempat tersebut selama 8 tahun. Menurut laporan BBC News, tindakan ini dipicu oleh tragedi 11 September 2001 adanya pesawat yang menabrak WTC di Amerika Serikat.


Penyebab Terjadinya Diskriminasi Kerja

Beberapa penyebab yang menimbulkan adanya diskriminasi terhadap wanita dalam pekerjaan, di antaranya, pertama, adanya tata nilai sosial budaya dalam masyarakat Indonesia yang umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideologi patriaki). 

Kedua, adanya bias budaya yang memasung posisi perempuan sebagai pekerja domestik atau dianggap bukan sebagai pencari nafkah utama dan tak pantas melakukannya.

Ketiga, adanya peraturan perundang-undangan yang masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender, contohnya pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7 tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non-upah yang menyebutkan bahwa tunjangan tetap diberikan kepada istri dan anak. Dalam hal ini, pekerja wanita dianggap lajang sehingga tidak mendapat tunjangan, meskipun ia bersuami dan mempunyai anak.

Keempat, masih adanya anggapan bahwa perbedaan kualitas modal manusia, misalnya tingkat pendidikan dan kemampuan fisik menimbulkan perbedaan tingkat produktifitas yang berbeda pula. Ada pula anggapan bahwa kaum wanita adalah kaum yang lemah dan selalu berada pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki.

Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt517e525593bf9/hak-pekerja-perempuan-masih-terabaikan
http://fitriyuningsih.blogspot.co.id/2014/01/kasus-kasus-dalam-etika-bisnis.html
https://mishbahulmunir.wordpress.com/2008/08/27/etika-bisnis-diskriminasi-pekerjaan-terhadap-wanita-1/

Rabu, 21 Oktober 2015

Softskill Etika Bisnis pertemuan 2



Kendala Dalam Mewujudkan Kinerja Bisnis Etis 

Pencapaian tujuan etika bisnis di Indonesia masih berhadapan dengan beberapa masalah dan kendala. Keraf(1993:81-83) menyebut beberapa kendala tersebut yaitu:
1. Standar moral para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah.
Banyak di antara pelaku bisnis yang lebih suka menempuh jalan pintas, bahkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan dengan mengabaikan etika bisnis, seperti memalsukan campuran, timbangan, ukuran, menjual barang yang kadaluwarsa, dan memanipulasi laporan keuangan.

2. Banyak perusahaan yang mengalami konflik kepentingan.
Konflik kepentingan ini muncul karena adanya ketidaksesuaian antara nilai pribadi yang dianutnya atau antara peraturan yang berlaku dengan tujuan yang hendak dicapainya, atau konflik antara nilai pribadi yang dianutnya dengan praktik bisnis yang dilakukan oleh sebagian besar perusahaan lainnya, atau antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat. Orang-orang yang kurang teguh standar moralnya bisa jadi akan gagal karena mereka mengejar tujuan dengan mengabaikan peraturan.


3. Situasi politik dan ekonomi yang belum stabil.
Hal ini diperkeruh oleh banyaknya sandiwara politik yang dimainkan oleh para elit politik, yang di satu sisi membingungkan masyarakat luas dan di sisi lainnya memberi kesempatan bagi pihak yang mencari dukungan elit politik guna keberhasilan usaha bisnisnya. Situasi ekonomi yang buruk tidak jarang menimbulkan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna memperoleh keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.

4. Lemahnya penegakan hukum.
Banyak orang yang sudah divonis bersalah di pengadilan bisa bebas berkeliaran dan tetap memangku jabatannya di pemerintahan. Kondisi ini mempersulit upaya untuk memotivasi pelaku bisnis menegakkan norma-norma etika.

5. Belum ada organisasi profesi bisnis dan manajemen untuk menegakkan kode etik bisnis dan manajemen.
Organisasi seperti KADIN beserta asosiasi perusahaan di bawahnya belum secara khusus menangani penyusunan dan penegakkan kode etik bisnis dan manajemen.

 Sekarang kalangan bisnis sudah memiliki kesadaran akan pentingnya Etika Bisnis dalam operasi bisnis. Bahkan dalam perkembangannya Etika Bisnis tidak lagi menjadi beban yang terpaksa harus dilaksanakan perusahan melainkan sudah menjadi salah satu strategy pengembangan perusahaan. Karena Tujuan perusahaan dapat didefinisikan sebagai upaya untuk “memaksimumkan kesejahteraan si pemilik dalam rentang waktu jangka panjang melalui aktivitas penjualan barang dan/atau jasa. Contoh nyata akan manfaat etika bisnis sebagai strategy pengembangan perusahaan misalnya Company Social Responsibility dianggap dapat memberikan keuntungan pada perusahaan dalam bentuk profitabilitas, kinerja financial yang lebih kokoh, menurunkan resiko bentrok dengan lingkungan sekitar, meningkatkan reputasi perusahaan, dll.
Secara lebih jelas, mekanismenya berjalan sebagai berikut.“Memaksimumkan kesejahteraan si pemilik dalam jangka panjang”, berhubungan dengan dimensi waktu yang relatif panjang serta menyangkut sustainability. Hal ini membutuhkan adanya “kepercayaan” atau “saling mempercayai” (trust) dari berbagai pihak yang berhubungan dengan perusahaan (stakeholders). Kalimat “kesejahteraan pemilik” merupakan derivasi dan perwujudan dari “hak kepemilikan” (ownership) yang muncul dari adanya penghargaan (respect) terhadap “kepemilikan pribadi” (property rights).

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka panjang maupun jangka menengah karena :
·      Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
·         Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
·         Melindungi prinsip kebebasan berniaga.
·         Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.

Tidak bisa dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan.

Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika bisnis, pada umumnya termasuk perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis, misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Perlu dipahami, karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus semaksimal mungkin harus mempertahankan karyawannya. Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :

·         Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
·         Memperkuat sistem pengawasan
·         Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.


Bisnis adalah bisnis. Bisnis jangan dicampur-adukkan dengan etika. Para pelaku bisnis adalah orang-orang yang bermoral, tetapi moralitas tersebut hanya berlaku dalam dunia pribadi mereka, begitu mereka terjun dalam dunia bisnis mereka akan masuk dalam permainan yang mempunyai kode etik tersendiri. Jika suatu permainan judi mempunyai aturan yang sah yang diterima, maka aturan itu juga diterima secara etis. Jika suatu praktik bisnis berlaku begitu umum di mana-mana, lama-lama praktik itu dianggap semacam norma dan banyak orang yang akan merasa harus menyesuaikan diri dengan norma itu. Dengan demikian, norma bisnis berbeda dari norma moral masyarakat pada umumnya, sehingga pertimbangan moral tidak tepat diberlakukan untuk bisnis dimana “sikap rakus adalah baik”(Ketut Rindjin, 2004:65).

Belakangan pandangan diatas mendapat kritik yang tajam, terutama dari tokoh etika Amerika Serikat, Richard T.de George. Ia mengemukakan alasan alasan tentang keniscayaan etika bisnis sebagai berikut.
Pertama, bisnis tidak dapat disamakan dengan permainan judi. Dalam bisnis memang dituntut keberanian mengambil risiko dan spekulasi, namun yang dipertaruhkan bukan hanya uang, melainkan juga dimensi kemanusiaan seperti nama bai kpengusaha, nasib karyawan, termasuk nasib-nasib orang lain pada umumnya.

Kedua, bisnis adalah bagian yang sangat penting dari masyarakat dan menyangkut kepentingan semua orang. Oleh karena itu, praktik bisnis mensyaratkan etika, disamping hukum positif sebagai acuan standar dlaam pengambilan keputusan dan kegiatan bisnis.

Ketiga, dilihat dari sudut pandang bisnis itu sendiri, praktik bisnis yang berhasil adalah memperhatikan norma-norma moral masyarakat, sehingga ia memperoleh kepercayaan dari masyarakat atas produ atau jasa yang dibuatnya.

CONTOH KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS

Akibat dari tidak tercapainya tujuan etika bisnis atau tidak bisa dijalankannya aturan-aturan yang merupakan prinsip-prinsip dalam etika bisnis oleh sebuah perusahaan adalah terjadinya pelanggaran etika.

Pelanggaran etika perusahaan terhadap pelanggannya di Indonesia merupakan fenomena yang sudah sering terjadi. Contoh terakhir adalah pada kasus Ajinomoto. Kehalalan Ajinomoto dipersoalkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada akhir Desember 2000 setelah ditemukan bahwa pengembangan bakteri untuk proses fermentasi tetes tebu (molase), mengandung bactosoytone (nutrisi untuk pertumbuhan bakteri), yang merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai terhadap biokatalisator porcine yang berasal dari pankreas babi.

Kasus lainnya, terjadi pada produk minuman berenergi Kratingdeng yang sebagian produknya diduga mengandung nikotin lebih dari batas yang diizinkan oleh Badan Pengawas Obat dan Minuman. ”Oleh karena itu perilaku etis perlu dibudayakan melalui proses internalisasi budaya secara top down agar perusahaan tetap survive dan dapat meningkatkan kinerja keuangannya,”.

Pengaruh budaya organisasi dan orientasi etika terhadap orientasi strategik secara simultan sebesar 65%. Secara parsial pengaruh budaya organisasi dan orientasi etika terhadap orientasi strategik masing-masing sebesar 26,01% dan 32,49%. Hal ini mengindikasikan bahwa komninasi penerapan etika dan budaya dapat meningkatkan pengaruh terhadap orientasi strategik. ”Hendaknya perusahaan membudayakan etika bisnis agar orientasi strategik yang dipilih semakin baik. Salah satu persyaratan bagi penerapan orientasi strategik yang inovatif, proaktif, dan berani dalam mengambil risiko adalah budaya perusahaan yang mendukung,”.

Etika bisnis tidak akan dilanggar jika ada aturan dan sangsi. Kalau semua tingkah laku salah dibiarkan, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Repotnya, norma yang salah ini akan menjadi budaya. Oleh karena itu bila ada yang melanggar aturan diberikan sangsi untuk memberi pelajaran kepada yang bersangkutan.

Upaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk menegakkan budaya transparansi antara lain:
·       Penegakkan budaya berani bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya. Individu yang mempunyai kesalahan jangan bersembunyi di balik institusi. Untuk menyatakan kebenaran kadang dianggap melawan arus, tetapi sekarang harus ada keberanian baru untuk menyatakan pendapat.
·   Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengukur kinerja jelas. Bukan berdasarkan kedekatan dengan atasan, melainkan kinerja.
·         Pengelolaan sumber daya manusia harus baik.
·         Visi dan misi perusahaan jelas yang mencerminkan tingkah laku organisasi.

Contoh Kasus Etika Bisnis di Bidang Peternakan

Usaha peternakan ayam negeri atau broiler mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan karena tingginya permintaan masyarakat akan daging. Usaha peternakan ayam ini juga memberikan keuntungan yang tinggi dan bisa menjadi sumber pendapatan bagi peternak ayam broiler tersebut. Akan tetapi, peternak dalam menjalankan usahanya masih mengabaikan prinsip-prinsip etika bisnis.

Akhir-akhir ini usaha peternakan ayam dituding sebagai usaha yang ikut mencemari lingkungan. banyaknya peternakan ayam yang berada di lingkungan masyarakat dirasakan mulai mengganggu oleh warga terutama peternakan ayam yang lokasinya dekat dengan pemukiman penduduk. Masyarakat banyak mengeluhkan dampak buruk dari kegiatan usaha peternakan ayam karena masih banyak peternak yang mengabaikan penanganan limbah dari usahanya.

Limbah peternakan yang berupa feses (kotoran ayam), dan sisa pakan serta air dari pembersihan ternak dan kandang menimbulkan pencemaran lingkungan masyarakat di sekitar lokasi peternakan tersebut. Selain itu timbulnya banyak lalat yang dikarenakan kurang bersih dan dirawatnya kandang, masyarakat takut lalat tersebut nantinya membawa penyakit. Dan satu lagi dari peternakan ayam negeri masyarakat mengkhawatirkan virus flu burung Avian Infuenza (H5N1) yang pada saat tahun 2008 lagi sedang gempar-gemparnya. Oleh karena itu, peternak ayam negeri atau broiler harus memiliki etika bisnis yang baik bukan hanya mencari keuntungan semata namun juga harus menciptakan lingkungan yang sehat di sekitar peternakan.

Dengan cara pengelolaan limbah yang baik misalkan dijadikan pupuk untuk tanaman atau untuk pakan ikan lele, menjaga kebersihan lingkungan dengan melakukan penyemprotan kandang disinfetan secara berkala agar tidak timbul banyak lalat & penyakit.

Dari contoh kasus diatas, maka dapat ditarik kesimpulan, jika saja peternakan tersebut menerapkan etika bisnis dengan baik, maka akan mendatangkan manfaat dari penerapan etika bisnis :
·         Perusahaan mendapatkan kepercayaan dari konsumen.
·  Perusahaan yang jujur akan menciptakan konsumen yang loyal. Bahkan konsumen akan merekomendasikan kepada orang lain untuk menggunakan produk tersebut.
·         Citra perusahaan di mata konsumen baik.
·      Dengan citra yang baik maka perusahaan akan lebih dikenal oleh masyarakat dan produknya pun dapat mengalami peningkatan penjualan.
·         Meningkatkan motivasi pekerja.
·    Karyawan akan bekerja dengan giat apabila perusahaan tersebut memiliki citra yang baik dimata perusahaan.
·         Keuntungan perusahaan dapat di peroleh.